ILUSTRASI |
“Aku akan didatangi oleh beberapa prang
yang aku mengenal mereka dan mereka juga mengenalku, tetapi mereka
diusir dari telaga. Maka aku berkata: ‘Mereka Sahabatku!’ Kemudian
dikatakan (kepadaku): ‘Engkau tidak tahu apa yang mereka perbuat setelah
engkau meninggal dunia.” [1]
Hadits ini mempunyai jalur sanad dan redaksi matan yang beragam, di antaranya:
“Aku berada di telaga hingga aku melihat
siapa saja yang akan mendatangiku dari kalian. Lalu, ada orang-orang
akan dijauhkan dariku. Aku pun berkata: ‘Wahai Rabbku, mereka dari
golonganku dan dari umatku.’ Lantas dikatakan (kepadaku): ‘Apakah engkau
tidak menyadari apa yang mereka lakukan setelah engkau meninggal dunia?
Demi Allah, tidak lama setelah engkau meninggal dunia, mereka kembali
kepada keadaan mereka semula (menjadi orang-orang kafir lagi).”‘
Ibnu Mulaikah—salah seorang perawi hadits
ini— berkata: “Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu agar tidak kembali
kepada keadaan kami semula.” [2]
Dan, dalam riwayat lain disebutkan:
“Aku mendahului kalian ke telaga.” Dan,
aku akan didebat tentang sekelompok kaum datang ke sana (tetapi
dilarang), dan aku tidak dapat membela mereka ketika itu. Lantas, aku
memohon: ‘Ya Rabb, mereka Sahabatku, mereka Sahabatku.’ Lalu, dikatakan
kepadaku: `Sungguh, engkau tidak tahu apa yang mereka perbuat setelah
engkau meninggal dunia.”‘[3]
Bantahan terhadap syubhat ini dapat dianalisis dari beberapa tinjauan sebagai berikut.
Pertama, yang dimaksud
dengan kata “Sahabat” di sini adalah orang-orang munafik yang
menampakkan keislaman pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagaimana difirmankan oleh Allah ‘azza wa jalla:
“Apabila orang-orang munafik datang
kepadamu (Muhammad), mereka berkata: ‘Kami mengakui bahwa engkau adalah
Rasul Allah.’ Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya;
dan Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar
pendusta. ” (QS. Al-Munaafiquun: 1)
Mereka adalah orang orang munafik yang
tidak diketahui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana
firman Allah ‘Azza wa jalla:
“Dan di antara orang-orang Arab Badui
yang (tinggal) di sekitarmu, ada orang-orang munafik. Dan di antara
penduduk Madinah (ada juga orang-orang munafik), mereka keterlaluan
dalam kemunafikannya. Engkau (Muhammad) tidak mengetahui mereka, tetapi
Kami mengetahuinya. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali, kemudian
mereka akan dikembalikan kepada adzab yang besar. ” (QS. At-Taubah: 101)
Jadi, mereka adalah orang-orang munafik
yang disangka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Sahabat beliau,
padahal mereka tidak termasuk di dalamnya.
Kedua, yang dimaksud
adalah orang-orang yang murtad setelah wafatnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sebagaimana dimaklumi, tidak sedikit orang Arab yang
murtad sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Merekalah yang dikatakan oleh Nabi
“Mereka Sahabatku,” namun kemudian dijelaskan kepada beliau:
“Sesungguhnya engkau tidak tahu apa yang mereka perbuat setelah engkau
meninggal dunia.” Yakni, mereka murtad semenjak engkau berpisah dengan
mereka untuk selamanya.
Ketiga, kata “Sahabat”
dalam hadits-hadits tersebut dimaknai secara umum; yaitu setiap orang
yang pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun dia
tidak menerima dakwah beliau. Sebenarnya mereka tidak termasuk Sahabat
menurut istilah (terminologi) syari`at. Di antara dalil yang menunjukkan
hal ini adalah sabda Rasulullah berkenaan dengan pimpinan orang-orang
munafik, ‘Abdullah bin Ubay bin Salul. Ketika Ibnu Ubay
mengatakan—seperti yang tertera dalam al-Qur-an—:
“‘….Sungguh, jika kita kembali ke
Madinah (kembali dari Perang Bani Mustalik), pastilah orang yang kuat
akan mengusir orang-orang yang lemah dari sana ….‘” (QS. Al-Munaafiquun: 8)
Dan perkataannya terdengar oleh ‘Umar
radhiyallahu ‘anhu, spontan saja Sahabat ini berseru: “Wahai Rasulullah,
izinkanlah aku memenggal leher orang munafik ini.” Namun Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Biarkan saja dia! Jangan sampai orang-orang berkata bahwa Muhammad membunuh Sahabatnya.”[4]
Dalam hadits tersebut, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menganggap ‘Abdullah bin Ubay sebagai “Sahabat”,
tetapi sebatas makna bahasa saja, bukan berdasarkan makna istilah.
Karena, Ibnu Ubay adalah pemimpin kaum munafik Arab yang rahasianya
dibeberkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Bahkan, orang ini menampakkan
kemunafikannya secara terang-terangan.
Keempat, bisa jadi yang dimaksud dengan “Sahabat” dalam hadits itu adalah setiap orang yang bersama Nabi
di atas jalan kebenaran, walaupun dia tidak pernah melihat beliau. Keterangan ini ditunjukkan oleh riwayat yang lain yang menyebutkan: “Mereka umatku,” (sebagai pengganti lafazh: “Mereka adalah Sahabatku”) atau dalam riwayat lain: “Sungguh, mereka adalah umatku.” Bahkan ini didukung oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Aku mengenal mereka,” yang memang ditegaskan beliau sendiri; Ada yang bertanya—sebagaimana dinukilkan dalam riwayat yang lain—kepada beliau: “Wahai Rasulullah, bagaimana engkau bisa mengenal mereka, padahal engkau tidak pernah melihat mereka?” Beliau menjawab: “Aku mengenal mereka dari bekas-bekas wudhu mereka.” [6]
di atas jalan kebenaran, walaupun dia tidak pernah melihat beliau. Keterangan ini ditunjukkan oleh riwayat yang lain yang menyebutkan: “Mereka umatku,” (sebagai pengganti lafazh: “Mereka adalah Sahabatku”) atau dalam riwayat lain: “Sungguh, mereka adalah umatku.” Bahkan ini didukung oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Aku mengenal mereka,” yang memang ditegaskan beliau sendiri; Ada yang bertanya—sebagaimana dinukilkan dalam riwayat yang lain—kepada beliau: “Wahai Rasulullah, bagaimana engkau bisa mengenal mereka, padahal engkau tidak pernah melihat mereka?” Beliau menjawab: “Aku mengenal mereka dari bekas-bekas wudhu mereka.” [6]
Penafsiran demikian dikuatkan pula oleh
pemahaman Ibnu Abi Mulaikah, perawi hadits ini, ketika dia berkata:
“Kami berlindung kepada-Mu agar tidak kembali kepada keadaan kami
semula.” Sementara, Ibnu Abi Mulaikah termasuk kalangan Tabi`in.
Hadits al-Haudh di atas tidak dijadikan
dalil oleh kaum Khawarij, Nawashib, dan Mu’tazilah. Hanya kaum Syi`ah
yang menjadikannya dalil untuk menyatakan bahwa para Sahabat Nabi telah
murtad. Jika seperti itu pandangannya, maka bisa dipertanyakan: “Kenapa
‘Ali, al-Hasan, al-Husain, dan selain mereka dari kalangan Ahlul Bait
Nabi di dikecualikan dari Sahabat-Sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam? Mengapa mereka tidak dimasukkan juga ke dalam golongan
orang-orang murtad?”
Kita tidak berpendapat Ahlul Bait dari
kalangan Sahabat Nabi telah murtad. Sama sekali tidak. Justru, kita
meyakini keimanan mereka, dan menyatakan bahwa mereka termasuk penduduk
Surga. Karena, seperti itulah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sabdakan tentang ‘Ali bin Abu Thalib ketika mereka berada di atas bukit
Hira:
“Tenanglah, hai Hira, karena di atasmu hanya ada Nabi, shiddiq (orang jujur), atau seorang syahid.” [7]
Ketika itu, ‘Ali bersama beliau, dan dia
termasuk penduduk Surga. Dalam sebuah hadits shahih dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda tentang al-Hasan dan
al-Husain radhiyallahu ‘anhuma; bahwasanya mereka adalah: “Dua pemimpin
para pemuda penghuni Surga.” [8]
Jika ada orang Rafidhah (Syi`ah zaman
sekarang) mengatakan: “Abu Bakar ash-Shiddiq, ‘Umar bin al-Khaththab,
Abu `Ubaidah bin al-Jarrah, dan Sahabat yang lain radhiyallahu ‘anhum
termasuk orang-orang yang diusir dari telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,” maka tidak salah pula apabila kelompok Nawashib memasukkan’
Ali bin Abu Thalib ke dalam kelompok yang akan diusir dari telaga
tersebut?” Apabila orang Rafidhah itu berdalih bahwa ‘Ali mempunyai
keutamaan-keutamaan, maka dapat kita jawab bahwa keutamaan-keutamaan Abu
Bakar dan ‘Umar jauh lebih banyak daripada keutamaan ‘All, bukankah
demikian?
Foot Note:
[1] Shahiihul Bukhari, Kitab “At-Tafsiir”, Bab “Kamaa Bada’naa Awwala Khalqin Nu’iiduh” (no. 4740).
[2] Shahiihul Bukhari, Kitab “Ar-Riqaaq”, Bab “Fil Haudh” (no. 6593).
[3] Farathukum (dalam teks asli) artinya aku mendahului kalian.
[4] Shahiih Muslim, Kitab “Ath-Thahaarah”, Bab “Istihbaab Ithaalatil Ghurrah” (no. 249).
[5] Shahiihul Bukhari, Kitab “At-Tafsiir”, Bab “Qauluhu: ‘Sawaa-un ‘alaihim Astaghfarta Lahum“‘ (no. 4905).
[6] Shahiih Muslim, Kitab
“Ath-Thahaarah”, Bab “Istihbaab Ithaalatil Ghurrah wat Tahjiil fil
Wudhuu”‘ (no. 249). Inilah redaksi lengkapnya, dari Abu Hurairah
radiyallahu ‘anhu, ia menuturkan:
“Rasulullah mendatangi kuburan, kemudian
beliau berkata: ‘Semoga keselamatan atas kalian, (wahai penghuni) tempat
tinggal orang-orang Mukmin. Kami, insya Allah, akan menyusul kalian.
Aku ingin sekali melihat saudara kita.’ Para Sahabat bertanya: ‘Bukankah
kami ini saudara-saudaramu, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda: ‘Kalian
adalah Sahabatku, adapun saudara-saudara kita adalah mereka yang belum
datang.’ Mereka bertanya: ‘Wahai Rasulullah, bagaimana engkau mengetahui
orang yang belum datang dari umat ini?’ Beliau menanggapi: ‘Bagaimana
menurutmu jika seseorang mempunyai kuda yang di dahi dan kakinya
terdapat warna putih, dan ia berada di antara dua kuda yang berwarna
hitam polos, bukankah dia akan mengenali kudanya itu?’ Mereka menjawab:
‘Benar, wahai Rasulullah.’ Beliau pun menyatakan: ‘Mereka akan datang
dalam keadaan dahi dan kaki mereka berwarna putih disebabkan bekas
wudhu. Dan, aku akan mendahului kalian menuju telaga. Ketahuilah,
beberapa orang akan diusir dari telagaku sebagaimana diusirnya unta yang
tersesat. Aku memanggil mereka: ‘Ke sinilah kalian.’ Tetapi diserukan
kepadaku: ‘Sesungguhnya mereka telah mengganti (agamanya)
sepeninggalmu.’ Kemudian aku berkomentar: ‘(Mereka) jauh (dari rahmat
Allah), jauh sekali.”‘
[7] Shahiih Muslim, Kitab “Fadhaa-ilush Shahaabah”, Bab “Fadhaa-il Thalhah waz Zubair radhiyallahu ‘anhu” (no. 2417).
[8] Jaami’ut Tirmidzi, Kitab
“Al-Manaaqib”, Bab “Manaaqibul Hasan wal Husain radhiyallahu ‘anhuma”
(no. 3768); Sunan Ibni Majah, “Al-Muqaddimah”, Bab “Fadhl ‘Ali bin Abu
Thalib (no. 118); dan Musnad Ahmad (no. 10616).
Sumber: Disalin dari Buku ‘Inilah Faktanya’, Dr.Utsman bin Muhammad al Khamis, Pustaka Imam Syafi’i
Posting Komentar Blogger Facebook